Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia
Hukum pidana ialah hukum sanksi yang
berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggar normanya.[1]
Demikian sanksi pidana masih memiliki tujuan pembalasan disamping tujuan
pembinaan,[2]
sekalipun masih terdapat ruang-ruang perdebatan yang menyertainya.
Salah satu yang menjadi kajian paling
penting terhadap sanksi pidana adalah terkait dengan pelaksanaan pidana mati di
Indonesia. Pidana mati merupakan pidana pokok paling berat yang dianut dalam
hukum positif di Indonesia (KUHP). Pidana mati diatur dalam Pasal 10 huruf a Angka
(1) KUHP.
Sebelum terlebih jauh membahas tentang pelaksanaan
pidana mati di Indonesia, ada baiknya bagi kita untuk memahami sejarah pidana
mati, negara-negara yang menganut/tidak menganut pidana mati, kaum yang pro
maupun kontra terhadap pidana mati, fungsi pidana mati, tujuan pidana mati,
pengaturan pidana mati sekaligus pelaksanaan pidana mati di Indonesia.
A. Sejarah Pidana Mati
Dimulai pada zaman Romawi. Dapat
dikatakan hukum Romawi yang dituangkan dalam Corpus Iuris Civil berlaku
hampir selama seribu tahun atau dalam pertengahan abad ke-6 Masehi. Dari
sinilah kemudian hukum Romawi mengembankan dirinya meliputi wilayah-wilayah
yang semakin luas di seluruh Eropah. Gejala ini dinamakan penerimaan (resepsi)
hukum Romawi.
Pidana mati juga dikenal pada masa Majapahit,
pada masa zaman Hindu, pada masa zaman Islam bahkan menurut hukum adat. Belakangan
yang terkenal ialah cerita-cerita yang menggambarkan keadaan di Perancis selama
revolusinya pada penghabisan abad ke-18, di mana beberapa orang dalam suatu
lapangan di muka umummenjalani hukuman mati dengan dipergunakannya guillotine, yaitu suatu barang tajam
berat yang dijatuhkan dari atas kepala leher seseorang.
Dalam hukum positif di Hindia Belanda,
pidana mati mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1918 dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht (WvS). Kemudian
lebih dipertegas seteleh kemerdekaan Indonesia melalui keberadaan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WvS).[3]
Hingga akhirnya pidana mati kita kenal dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP jo
Pasal 11 KUHP. Di awal-awal kemerdekaan ada beberapa eksekusi pidana mati.
Salah satunya yang paling terkenal adalah eksekusi pidana mati terhadap mantan
Perdana Menteri (PM) Amir Sjarifuddin pada tanggal 5 Desember 1948 (sekalipun eksekusi
ini masih menimbulkan perdebatan di sana sini diakibatkan eksekusi ini tanpa
sepengetahuan dan persetujuan Presiden Soekarno).[4]
Hingga saat ini total ada 111 orang yang telah divonis mati di Indonesia, 60
diantaranya adalah warga Indonesia yang dihukum karena kasus pembunuhan
berencana, dua orang dalam kasus terorisme. Sementara dari 49 orang yang
dihukum karena kasus narkotika, sebagian besar diantaranya adalah warga asing.[5]
B. Negara-negara yang menganut/tidak menganut pidana mati
Dalam perkembangan pelaksanaan pidana mati di
dunia, banyak negara-negara yang masih mengakui dan menganut sekaligus banyak
pula negara-negara yang tidak mengakui dan tidak menganut keberadaan pidana
mati.
Adapun negara-negara yang masih mengakui dan menganut pidana
mati diantaranya Bhutan, Brunei
Darussalam, Burkina Faso, Gambia, Grenada, Rusia, Mali, Suriname, Gambia, Sri
Lanka, Togo, Tonga, Samoa, Albania,
Argentina, Bosnia Herzegovina, Meksiko, Peru, Turki, Malaysia,
Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, RRC, Korea Selatan, Indonesia, dsb.
Sedangkan negara-negara yang telah mencabut pidana mati
seperti Brasil (1979), Republik Federasi Jerman (1949), Kolombia (1919), Kosta
Rika (1882), Denmark (1978), Dominika (1924), Ekuador (1897), Fiji (1979),
Finlandia (1972), Honduras (1965), Luxemburg (1979), Austria (1968), Portugal
(1977), Uruguay (1907), Venezuela (1863), Eslandia (1928), Swedia (1973), Swiss
(1973), dan Perancis.[6]
C. Alasan-Alasan Kaum Pro dan Kontra terhadap
Pidana Mati
Kaum yang pro atau sering
disebut dengan kaum retensionist
terhadap pidana mati memiliki alasan-alasan diantaranya:
-
Ditinjau dari sudut juridis, dikatakan bahwa
dengan peniadaan pidana mati, maka hilanglah suatu alat yang penting untuk
penerapan yang baik dari hukum pidana;
-
Mengenai kemungkinan kekeliruan hakim, itu
memang dapat terjadi, bagaimanapun baiknya undang-undang dirumuskan. Kekeliruan
itu dapat diatasi dengan pentahapan upaya-upaya hukum dan pelaksanaannya;
-
Mengenai perbaikan diri dari terpidana, sudah
barang tentu dimaksudkan agar dapat kembali dengan baik dalam masyarakat.
Alapakah jika pidana penjara seumur hidup yang dijatuhkan, terpidana akan
kembali lagi dalam pergaulan masyarakat?;[7]
-
Pidana mati itu masih dibutuhkan, terutama bagi
mereka yang tergolong sebagai residivis (repeater
criminal) dan bagi mereka yang melakukan tindak pidana yang membahayakan
negara, misalnya makar, teroris atau narkotika;
-
Pidana mati dianggap sebagai sarana yang dapat
mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan karena pidana mati dianggap
sebagai hal yang menakutkan atau menjerakan, sehingga dengan demikian ada rasa
takut bagi orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang diancam dengan
pidana mati. Pendapat yang demikian ini, ada kaitannya dengan pendapat dari
Anselm Von Feuerbach dengan teorinya: Psy
cologische Zwang (Paksaan Psikologis). Menurut teori tersebut, jika
seseorang dijatuhi hukuman dengan sepengetahuan orang lain, maka orang lain
tersebut akan merasa takut untuk melakukan tindak pidana. Sebenarnya, sejauh
mana orang itu akan melaksanakan suatu peraturan akan sangat tergantung pada
kesadaran dan kepatuhan hukum dari yang bersangkutan. Teori ini tidak berlaku
secara umum;
-
Pidana mati bukan merupakan hal yang baru bagi
masyarakat Indonesia, sebab pada pemerintahan Majapahit, bahkan sebelumnya pidana
mati sudah ada di Indonesia.[8]
Kaum yang kontra atau sering disebut dengan kaum abolisionis terhadap pidana mati juga memiliki
alasan-alasan diantaranya:
-
Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan,
maka tiada jalan lagi, maka tiada jalan lagi untuk memperbaiki kesalahan hakim
jika ia keliru menjatuhkan putusannya. Padahal hakim selaku manusia biasa tidak
luput dari kesalahan;
-
Pidana mati itu bertentangan dengan
perikemanusiaan;
-
Dengan penjatuhan pidana mati, sudah tertutup
segala usaha untuk memperbaiki terpidana;
-
Apabila pidana mati itu dipandang perlu sebagai
usaha untuk menakut-nakuti calon penjahat, maka pandangan itu adalah keliru
karena pidana mati biasanya dilaksanakan tidak dimuka umum;
-
Penjatuhan pidana mati pada umumnya mengandung belas
kasihan masyarakat, yang dengan demikian mengundang protes-protes terhadap
pelaksanaannya;
-
Pada umumnya Kepala Negara lebih cenderung
mengubah pidana mati dengan pidana penjara terbatas atau seumur hidup; [9]
-
Dihubungkan dengan Sila ke-2 Pancasila yang
menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan yang Maha Esa, maka manusia sebagai pelaku tindk pidana harus menjadi
perhatian utama pada saat penjatuhan pidana. Dengan perkataan lain harus ada
individualisasi hukum pidana (artinya hukum pidana harus berorientasi pada
pelaku tindak pidana);
-
Terkait dengan keberadaan Lembaga
Pemasyarakatan, yang tugas utamanya adalah pembinaan narapidana, maka dengan
dijatuhkannya pidana mati, berarti hal yang demikian bertentangan dengan tugas
utama Lembaga Pemasyarakatan tersebut.[10]
D. Fungsi Pidana Mati
Fungsi pidana mati tidak dapat
dipisahkan dari fungsi hukum pidana itu sendiri. Sebagai hukum yang memiliki
sanksi terberat/paling keras dibandingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam
berbagai bidang hukum lainnya, prinsipnya hukum pidana difungsikan sebagai
upaya terakhir (ultimum remidium).
Fungsi ini sering disebut sebagai fungsi subsidiaritas, yaitu penggunaan hukum
pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai
pertimbangan yang komprehensif.
Demikian halnya jika dikaitkan dengan pidana mati. Pidana mati
musti dianggap sebagai pidana yang baru dijatuhkan jika tingkat kejahatannya
sangat serius dan membawa dampak yang cukup luas bagi kehidupan sosial
masyarakat maupun kehidupan bangsa dan negara. Pidana mati hendaklah
benar-benar dipikirkan secara komprehensif dan mendasar untuk menghindari tidak
berfungsinya hukum pidana dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai filter pidana mati, di Indonesia harus ada fiat
eksekusi dari Presiden berupa penolakan grasi sekalipun seandainya terpidana tidak
mengajukan permohonan grasi. Demikian juga pidana mati ditunda jika terpidana
sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi “Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai
kemanusiaan dan keadilan”.
E. Tujuan Pidana Mati
Bertalian dengan fungsi hukuman
mati maka tujuan pidana mati tidak dapat dipisahkan dengan tujuan hukum pidana.
Dalam rentang sejarah hukum pidana, ada 3 (tiga) aliran pemikiran yang
berkaitan dengan tujuan hukum pidana. Pertama,
aliran klasik yaitu aliran yang bertitik tolak terhadap paham
indeterminisme yang berujung pada paham/teori pembalasan. Maka dalam konteks
ini pidana mati merupakan upaya pembalasan terhadap perbuatan dari pelaku
tindak pidana. Kedua, aliran modern
yang menerapkan ide individualisasi pidana yang bertujuan untuk
membina/memperbaiki pelaku tindak pidana. Aliran ini tidak menghendaki adanya
pidana mati, karena dengan adanya pidana mati sekaligus menghentikan upaya
untuk membina/memperbaiki pelaku tindak pidana. Ketiga, aliran neo-klasik, yaitu aliran merupakan aliran yang
mengkombinasikan antara paham pembalasan dan paham pembinaan bagi pelaku tindak
pidana. Maka tujuan pidana mati menurut aliran ini adalah sebagai pembalasan
terhadap perbuatan pelaku tindak pidana dengan menciptakan filter terhadap
pelaksanaan pidana mati melalui beberapa mekanisme yang bersifat pembinaan,
misalnya masih memberikan upaya hukum bagi terpidana, adanya peralihan pidana
mati ke pidana penjara seumur hidup, dsb.
F. Pengaturan Pidana Mati dalam Hukum Positif
Indonesia
Sebagaimana telah dikemukakan
di atas bahwa dasar pemberlakuan pidana mati diatur dalam Pasal 10 huruf a Angka
(1) KUHP jo Pasal 11 KUHP. Setidaknya tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati di dalam KUHP ada 9 (sembilan) buah, yaitu:
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden dan wakil
presiden);
2. Pasal
111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang , jika
permusuhan itu dilakukan atau berperang);
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu
perang);
4. Pasal 124 bis KUHP (menyebabkan atau memudahkan
atau menganjurkan huru hara);
5. Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar terhadap raja
atau presiden atau kepala negara sahabat yang direncanakan atau berakibat
maut);
6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana);
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP (pencurian dengan
kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati);
8. Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir
dan di sungai yang mengakibatkan kematian); dan
9. Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2)
KUHP (kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana
penerbangan).
G. Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia
Di beberapa negara pelaksanaan
pidana mati dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya:
1. Di negeri Cina ditembak di bagian belakang
kepala;
2. Di negara Sudan dan Iran dengan menggantung atau
melempari atau menembak (hanging, stoning
or shooting);
3. Di negara Saudi Arabia dan Yaman dipenggal
dengan pedang;
4. Di Oklahoma dengan lethal injection;
5. Beberapa negara di Timur Tengah dilempari
dengan batu sampai mati;
6. Di negara USA dengan electrik chair atau gas
chamber (kamar gas);
7. Di Arizona dengan gas chamber;
8. Di negara Burundi, Comoros, Guinea, Lebanon,
eksekusi pidana mati di tempat terbuka;
9. Di negara Saudi Arabia, China, Gabon, Libia,
Kazakhstan, Guatemala, disiarkan di Televisi;
10. Di Thailand dapat disaksikan oleh wartawan dan
kameramen saat ditembak.
Di Indonesia cara pelaksanaan pidana mati diatur dalam Pasal
11 KUHP yang menentukan “Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat
gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher
terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.”
Pelaksanaan pidana mati berdasarkan Pasal 11 KUHP di atas
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak dikeluarkannya Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969,
Penetapan Presiden tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964,
dimana di dalamnya diatur bahwa pelaksanaan pidana mati di Indonesia tidak lagi
seperti yang ditetapkan di dalam Pasal 11 KUHP melainkan ditembak sampai mati.
Pelaksanaan pidana mati tersebut adalah sebagai berikut:
1. jika tidak ditentukan lain oleh Menteri
Hukum dan HAM maka pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum
pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama;
2. pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa
orang di dalam suatu putusan dilaksanakan secara serentak pada waktu dan tempat
yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan
yang demikian itu;
3. kepala polisi tempat kedudukan pengadilan
tersebut, setelah mendengar masehat jaksa yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaannya menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati;
4. tiga kali dua puluh empat jam sebelum
pelaksanaan pidana mati, jaksa memberitahukan kepada terpidana mengenai
pelaksanaan pidana mati tersebut;
5. apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan
pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah melahirkan;
6. pembela terpidana atas permintaannya sendiri
dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati;
7. pidana mati dilaksanakan di tempat tertutup,
kecuali ditetapkan lain oleh presiden;
8. pelaksanaan pidana mati dilaksanakan regu
tembak dari kepolisian yang terdiri dari seorang perwira, semuanya dari brigade
mobil;
9. regu tembak tidak menggunakan senjata
organiknya;
10. terpidana dapat menjalani pidana dengan
berdiri, duduk atau berlutut;
11. pada saat pelaksanaan pidana mati, mata
terpidana ditutup.
Pelaksanaan pidana mati ini juga diatur
dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
[1] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hal. 30.
[2] C. Djisman Samosir, Sekelumit tentang Penologi & Pemasyarakatan, (Bandung: Nuansa
Aulia, 2012), hal. 164.
[3] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang
diberlakukan kembali berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
0 comments:
Post a Comment